Rabu, 17 Februari 2010

Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu? (bag 2)

Sebelum sampai pada sebuah kesimpulan, alangkah baiknya kita terlebih dahulu membahas tentang ijtihad, karena sesungguhnya masalah yang kita bahas sekarang ini adalah masalah ayat musyabbihat (ahli tafsir), , ayat dzanni (ahli ushul fiqh), atau furu'iyyah (menurut ahli fikih) yang merupakan doamain pembahasan ijtihad. Adapun tingkatan ijtihad adalah:
Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hokum dan dia berhak mengubah kaidah-kaidah tersebut bila dibutuhkan;
Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil);
Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu; dan
Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i.
Lalu yang menjadi pertanyaan, benarkah pintu ijtihad telah terkunci? Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih. Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi ushul fiqih.
Perlu diketahui beberapa hal, diantaranya:
ajaran Islam terbagi dua; ada yang bersifat ashliyyah (seperti masalah akidah, kewajiban shalat, puasa, zakat, dan yang lainnya) yang tidak boleh ada perbedaan di dalamnya dan ada yang bersifat furu'iyyah (cabang) yang ruang lingkup pembahasannya begitu luas dalam ilmu fiqih dan sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Diantaranya adalah masalah yang kita bahas sekarang ini, hukum menyentuh wanita yang bukan mahram.
dikarenakan Mamang (punten karena di rumah terbiasa dipanggil itu) orang yang masih begitu awwam (dalam hal ilmu agama), maka metode yang Mang (maksudnya "saya") gunakan dalam masalah perbedaan pendapat ini adalah Metode Tarjih yang merupakan metode ijtihad paling bawah tingkatannya. Diterima atau pun tidak, metode ini memang perlu diakui keberadaannya dalam ilmu fikih, yang sekarang lebih dikenal dengan ilmu fiqih maqorin (fikih perbandingan).
saya membagi masalah ini ke dalam 2 porsi, yaitu dengan cara membedakan wanita bukan mahram sebagai istri dan bukan istri yang lebih kita kenal dengan ajnabiyyah. Yang kemudian keduanya mempunyai hukum masing-masing yang saya ambil. Kenapa hal itu dilakukan? Tentunya saya memiliki alasan tersendiri. Pertama, isteri sangatlah berbeda (memiliki kekhususan) dengan wanita bukan mahrom lainnya. Istri adalah wanita yang menyentuh dan menyetubuhinya (maaf jika berlebihan) adalah suatu kewajiban bagi sang suami. Belum lagi jika dilihat dari sisi keromantisan hubungan suami istri, yang mana keromantisan adalah hal yang selalu dijaga Rasulullah dengan para istrinya. Adalah sesuatu yang indah dan kebutuhan, keharmonisan dalam rumah tangga haruslah ada. Seperti suami mencium istri ketika mau shalat ke Masjid, membaca Al-Qur'an dalam pangkuan suami begitu juga sebaliknya seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan hal lain yang bisa mengeratkan hubungan suami istri yang tentunya bersentuhan adalah hal yang tidak bisa terhindarkan. Sedangkan kedua, wanita ajnabiyyah adalah kontradiksi dari istri. Jangankan menyentuhnya apalagi menyetubuhinya, memandangnya saja adalah sesuatu yang sudah diharamkan oleh Allah. Moga saya bukan termasuk orang-orang yang lalai. Amin. Sungguh sangat miris dan menyedihkan umat Islam masa kini. Qunut, tahlilan, yasinan, gerakan telunjuk ketika shalat, dan macam-macam perbedaan lainnya yang bersifat furu'iyyah (cabang) yang sebetulnya merupakan Rahmat dan kemudahan beragama dari Allah begitu menjadi permasalahan besar. Sementara hal-hal yang ashl (asas) telah dilalaikan. Berapa banyak orang tua yang tidak mempermasalahkan anaknya ketika meninggalkan shalat lima waktu?? ketika tidak mengenakan jilbab dengan baik?? Ketika sering berpacaran di tempat yang gelap dengan laki-laki yang bukan mahrom?? Ketika merayakan valentine, tahun baru, ulang tahun, dan acara-acara lainnya yang diisi dengan urak-urakkan???? Ketika anak masih bermasalah dalam membaca al-Qur'an???? Berapa banyak orang tua yang peduli itu???? Sementara di sisi lain masih meributkan masalah-masalah yang tak perlu dipeributkan. Bahkan seharusnya kita menjalaninya dengan kebersamaan dan toleransi terhadap sesama. Kadang sedih hati ini melihat itu. Bahkan yang lebih disayangkan hal itu justru terjadi kepada orang-orang di sekitar saya. Bimbinglah kami ya Rabb. Tapi kadang ingin rasanya hati ini marah dan mengamuk sambil berteriak; "saudarakuuuuuuuu, orang di luar sana sudah sampai bulan bahkan mungkin sekarang sudah sampai planet venus!!!!!" "hai orang-orang Islam, Amerika sudah mengincar setiap kamu dengan pesawat angkasanya!!!" "hai sahabat-sahabatku, lemes rasanya tubuh ini melihat saudara-saudaraku mati berserakan dengan tempelan peluru-peluru yahudi laknatullah di tubuhnya!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" sementara kita masih mempermasalahkan batal wudhu yang terkadang kita sendiri kurang begitu faham dengan masalah itu sendiri, bahkan yang dibesarkan hanyalah fanatic belaka. ya Rabb, bimbinglah kami karena sesungguhnya kami adalah orang yang tidah tahu.
dengan mengharap ridho Allah, dengan melihat beberapa dalil yang sudah dipaparkan di atas dan meninjau beberapa kemaslahatan yang perlu dijaga. Saya (alias si Mamang) coba menarik sebuah kesimpulan yang akan menjadi posisi di mana saya berada dalam memandang perbedaan pendapat ini. Pertama, dalam berinteraksi dengan istri saya berpegang kepada mazhab yang paling rajah, kuat dalilnya dan paling moderat yaitu mazhad Maliki dan Hanbali. Di mana saya berkeyakinan bahwa tidak batal wudhu saya ketika bersentuhan dengannya kecuali jika itu dilakukan dengan syahwat. Tetapi untuk sang istri dikembalikan lagi terhadap pendapat mana ia berpegang teguh. Kedua, dalam berinteraksi dengan wanita ajnabiyyah maka saya berpegang kepada mazhab Syafi'I yaitu wudhu saya batal hukumnya ketika bersentuhan dengan wanita bukan mahrom selain istri sebagai bentuk kehati-hatian. Hal itu karena menatapnya saja adalah merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT., apalagi menyentuhnya. Dalam firman-Nya surat an_Nur ayat 31:
وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت إيمانهن أو التابعين غير اولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
mungkin saja akan ada yang mengatakan bahwa langkah yang saya tempuh tidak boleh dengan alasan talfiq. Maka saya tegaskan itu bukanlah talfiq. Harap semua bisa memahami talfiq. Talfiq berasal dari kata laffaqo-yulaffiqu-talfiqon yang artinya menambal. Maksudnya dalam ilmu fikih adalah berpindah-pindah mazhab dengan tujuan untuk pelarian dan menambal; hal-hal terberat yang ada dalam suatu mazhab coba dia tambal dengan berpindah ke mazhab yang lebih mudah. Sedang tarjih bukanlah perpindahan mazhab. Melainkan dia adalah metode pemilihan yang melihat asas maslahat dan kerajihan dalil.
diharapkan setelah ini kita bisa menjadi Muslim yang terbiasa beribadah dengan landasan ilmu dan ketakwaan, bukan karena fanatik kelompok atau sekadar kebiasaan yang telah mengakar (tradisi). Dalam arti lain kita harus lebih pintar dalam beribadah. Kita akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang kita kerjakan. Tak perlu kita merasa paling benar apalagi mencarci orang lain yang berbeda dengan kita selama itu masih bukan hal yang asasi.
sebagi koreksian, banyak orang-orang di sekitar saya yang mengaku bahwa mereka adalah ahli sunnah waljama'ah dan yang lainnya bukan hanya karena mereka bermazhab kepada Syafi'i. tolong coba kita pelajari kembali apa maksudnya ahli sunnah waljama'ah. Bahkan kalo perlu saya ungkap, banyak di sekitar orang syafi'iyyah yang sebenarnya belum menjalankan apa yang ada dalam mazhab Syafi'i. hal itu karena keterbatasan pengetahuan tentang mazhab yang difanatikinya. Bahkan yang lebih aneh justru mereka kadang menjalankan faham mazhab lain. Contoh khutbah jum'at, masalah ibro pada wanita hamil karena zina, menggerakkan telunjuk ketika shalat, dan dalam hal-hal lainnya yang tidak bisa disebutkan dan dibahas satu-persatu.
mohon maaf segala kesalahan yang datangnya dari diri saya. Semoga ini bermanfaat. Sesungguhnya segala kebenaran semata-mata hanya milik Allah. Karena Dia Yang Maha Alim. Wallahu a'lam bis-showab

Maraji’:
1. al-Fiqh al-Islami, Prof. DR. Wahbah Zuhaili, Darul Fikr.
2. Subulus Salam, Imam Shan‘ani, tahqiq; Muhammad Subhi Hasan Halaq, Dar Ibnul Jauzi.
3. Shahih Fiqh as-Sunnah, Abu Malik Kamal, al-Maktabah at-Tauqifiyyah.
4. Nailul-Authar, Syaukani, Darul-Hadits.
5. Mudzakirah Fiqh, Kuliah Syari’ah Jami’ah Islamiyah Madinah. DR. Abdullah Zahim.
6. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, Darul ‘Ashimah.
7. Majmu’ Fatawa Maqalat Mutanawi‘ah, Syaikh bin Baz. Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah.
8. Syarhul-Mumti‘, Syaikh al-’Utsaimin, Darul-Jauzi.
9. al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, Dar ‘Asl.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar