Rabu, 17 Februari 2010

Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu? (bag 2)

Sebelum sampai pada sebuah kesimpulan, alangkah baiknya kita terlebih dahulu membahas tentang ijtihad, karena sesungguhnya masalah yang kita bahas sekarang ini adalah masalah ayat musyabbihat (ahli tafsir), , ayat dzanni (ahli ushul fiqh), atau furu'iyyah (menurut ahli fikih) yang merupakan doamain pembahasan ijtihad. Adapun tingkatan ijtihad adalah:
Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hokum dan dia berhak mengubah kaidah-kaidah tersebut bila dibutuhkan;
Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil);
Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu; dan
Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i.
Lalu yang menjadi pertanyaan, benarkah pintu ijtihad telah terkunci? Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih. Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi ushul fiqih.
Perlu diketahui beberapa hal, diantaranya:
ajaran Islam terbagi dua; ada yang bersifat ashliyyah (seperti masalah akidah, kewajiban shalat, puasa, zakat, dan yang lainnya) yang tidak boleh ada perbedaan di dalamnya dan ada yang bersifat furu'iyyah (cabang) yang ruang lingkup pembahasannya begitu luas dalam ilmu fiqih dan sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Diantaranya adalah masalah yang kita bahas sekarang ini, hukum menyentuh wanita yang bukan mahram.
dikarenakan Mamang (punten karena di rumah terbiasa dipanggil itu) orang yang masih begitu awwam (dalam hal ilmu agama), maka metode yang Mang (maksudnya "saya") gunakan dalam masalah perbedaan pendapat ini adalah Metode Tarjih yang merupakan metode ijtihad paling bawah tingkatannya. Diterima atau pun tidak, metode ini memang perlu diakui keberadaannya dalam ilmu fikih, yang sekarang lebih dikenal dengan ilmu fiqih maqorin (fikih perbandingan).
saya membagi masalah ini ke dalam 2 porsi, yaitu dengan cara membedakan wanita bukan mahram sebagai istri dan bukan istri yang lebih kita kenal dengan ajnabiyyah. Yang kemudian keduanya mempunyai hukum masing-masing yang saya ambil. Kenapa hal itu dilakukan? Tentunya saya memiliki alasan tersendiri. Pertama, isteri sangatlah berbeda (memiliki kekhususan) dengan wanita bukan mahrom lainnya. Istri adalah wanita yang menyentuh dan menyetubuhinya (maaf jika berlebihan) adalah suatu kewajiban bagi sang suami. Belum lagi jika dilihat dari sisi keromantisan hubungan suami istri, yang mana keromantisan adalah hal yang selalu dijaga Rasulullah dengan para istrinya. Adalah sesuatu yang indah dan kebutuhan, keharmonisan dalam rumah tangga haruslah ada. Seperti suami mencium istri ketika mau shalat ke Masjid, membaca Al-Qur'an dalam pangkuan suami begitu juga sebaliknya seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan hal lain yang bisa mengeratkan hubungan suami istri yang tentunya bersentuhan adalah hal yang tidak bisa terhindarkan. Sedangkan kedua, wanita ajnabiyyah adalah kontradiksi dari istri. Jangankan menyentuhnya apalagi menyetubuhinya, memandangnya saja adalah sesuatu yang sudah diharamkan oleh Allah. Moga saya bukan termasuk orang-orang yang lalai. Amin. Sungguh sangat miris dan menyedihkan umat Islam masa kini. Qunut, tahlilan, yasinan, gerakan telunjuk ketika shalat, dan macam-macam perbedaan lainnya yang bersifat furu'iyyah (cabang) yang sebetulnya merupakan Rahmat dan kemudahan beragama dari Allah begitu menjadi permasalahan besar. Sementara hal-hal yang ashl (asas) telah dilalaikan. Berapa banyak orang tua yang tidak mempermasalahkan anaknya ketika meninggalkan shalat lima waktu?? ketika tidak mengenakan jilbab dengan baik?? Ketika sering berpacaran di tempat yang gelap dengan laki-laki yang bukan mahrom?? Ketika merayakan valentine, tahun baru, ulang tahun, dan acara-acara lainnya yang diisi dengan urak-urakkan???? Ketika anak masih bermasalah dalam membaca al-Qur'an???? Berapa banyak orang tua yang peduli itu???? Sementara di sisi lain masih meributkan masalah-masalah yang tak perlu dipeributkan. Bahkan seharusnya kita menjalaninya dengan kebersamaan dan toleransi terhadap sesama. Kadang sedih hati ini melihat itu. Bahkan yang lebih disayangkan hal itu justru terjadi kepada orang-orang di sekitar saya. Bimbinglah kami ya Rabb. Tapi kadang ingin rasanya hati ini marah dan mengamuk sambil berteriak; "saudarakuuuuuuuu, orang di luar sana sudah sampai bulan bahkan mungkin sekarang sudah sampai planet venus!!!!!" "hai orang-orang Islam, Amerika sudah mengincar setiap kamu dengan pesawat angkasanya!!!" "hai sahabat-sahabatku, lemes rasanya tubuh ini melihat saudara-saudaraku mati berserakan dengan tempelan peluru-peluru yahudi laknatullah di tubuhnya!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" sementara kita masih mempermasalahkan batal wudhu yang terkadang kita sendiri kurang begitu faham dengan masalah itu sendiri, bahkan yang dibesarkan hanyalah fanatic belaka. ya Rabb, bimbinglah kami karena sesungguhnya kami adalah orang yang tidah tahu.
dengan mengharap ridho Allah, dengan melihat beberapa dalil yang sudah dipaparkan di atas dan meninjau beberapa kemaslahatan yang perlu dijaga. Saya (alias si Mamang) coba menarik sebuah kesimpulan yang akan menjadi posisi di mana saya berada dalam memandang perbedaan pendapat ini. Pertama, dalam berinteraksi dengan istri saya berpegang kepada mazhab yang paling rajah, kuat dalilnya dan paling moderat yaitu mazhad Maliki dan Hanbali. Di mana saya berkeyakinan bahwa tidak batal wudhu saya ketika bersentuhan dengannya kecuali jika itu dilakukan dengan syahwat. Tetapi untuk sang istri dikembalikan lagi terhadap pendapat mana ia berpegang teguh. Kedua, dalam berinteraksi dengan wanita ajnabiyyah maka saya berpegang kepada mazhab Syafi'I yaitu wudhu saya batal hukumnya ketika bersentuhan dengan wanita bukan mahrom selain istri sebagai bentuk kehati-hatian. Hal itu karena menatapnya saja adalah merupakan hal yang dilarang oleh Allah SWT., apalagi menyentuhnya. Dalam firman-Nya surat an_Nur ayat 31:
وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت إيمانهن أو التابعين غير اولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
mungkin saja akan ada yang mengatakan bahwa langkah yang saya tempuh tidak boleh dengan alasan talfiq. Maka saya tegaskan itu bukanlah talfiq. Harap semua bisa memahami talfiq. Talfiq berasal dari kata laffaqo-yulaffiqu-talfiqon yang artinya menambal. Maksudnya dalam ilmu fikih adalah berpindah-pindah mazhab dengan tujuan untuk pelarian dan menambal; hal-hal terberat yang ada dalam suatu mazhab coba dia tambal dengan berpindah ke mazhab yang lebih mudah. Sedang tarjih bukanlah perpindahan mazhab. Melainkan dia adalah metode pemilihan yang melihat asas maslahat dan kerajihan dalil.
diharapkan setelah ini kita bisa menjadi Muslim yang terbiasa beribadah dengan landasan ilmu dan ketakwaan, bukan karena fanatik kelompok atau sekadar kebiasaan yang telah mengakar (tradisi). Dalam arti lain kita harus lebih pintar dalam beribadah. Kita akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang kita kerjakan. Tak perlu kita merasa paling benar apalagi mencarci orang lain yang berbeda dengan kita selama itu masih bukan hal yang asasi.
sebagi koreksian, banyak orang-orang di sekitar saya yang mengaku bahwa mereka adalah ahli sunnah waljama'ah dan yang lainnya bukan hanya karena mereka bermazhab kepada Syafi'i. tolong coba kita pelajari kembali apa maksudnya ahli sunnah waljama'ah. Bahkan kalo perlu saya ungkap, banyak di sekitar orang syafi'iyyah yang sebenarnya belum menjalankan apa yang ada dalam mazhab Syafi'i. hal itu karena keterbatasan pengetahuan tentang mazhab yang difanatikinya. Bahkan yang lebih aneh justru mereka kadang menjalankan faham mazhab lain. Contoh khutbah jum'at, masalah ibro pada wanita hamil karena zina, menggerakkan telunjuk ketika shalat, dan dalam hal-hal lainnya yang tidak bisa disebutkan dan dibahas satu-persatu.
mohon maaf segala kesalahan yang datangnya dari diri saya. Semoga ini bermanfaat. Sesungguhnya segala kebenaran semata-mata hanya milik Allah. Karena Dia Yang Maha Alim. Wallahu a'lam bis-showab

Maraji’:
1. al-Fiqh al-Islami, Prof. DR. Wahbah Zuhaili, Darul Fikr.
2. Subulus Salam, Imam Shan‘ani, tahqiq; Muhammad Subhi Hasan Halaq, Dar Ibnul Jauzi.
3. Shahih Fiqh as-Sunnah, Abu Malik Kamal, al-Maktabah at-Tauqifiyyah.
4. Nailul-Authar, Syaukani, Darul-Hadits.
5. Mudzakirah Fiqh, Kuliah Syari’ah Jami’ah Islamiyah Madinah. DR. Abdullah Zahim.
6. Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, Darul ‘Ashimah.
7. Majmu’ Fatawa Maqalat Mutanawi‘ah, Syaikh bin Baz. Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah.
8. Syarhul-Mumti‘, Syaikh al-’Utsaimin, Darul-Jauzi.
9. al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, Dar ‘Asl.

Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu? (bag 1)

Oleh: Lukmanul Hakim Firdaus S.Pd.I

Sebagian Muslim saat mau shalat ada yang tidak mau bersentuhan dengan istrinya. sebagian lagi sebaliknya, setiap mau berangkat ke masjid untuk shalat tidak lupa mencium kening istrinya, tanpa mengulangi wudhu.
Batal tidaknya wudhu seseorang karena menyentuh wanita memang menjadi perselisihan. Tidak jarang terjadi debat kusir yang tiada ujung pangkalnya. Bukan hanya perbedaan yang menimbulkan pertikaian yang disayangkan, tapi kenekatan dalam memperdebatkan masalah agama yang kebanyakan tidak tahu dasar/sumber hukum para imam/madzhab. Akibatnya hanya pertikaian yang dihasilkan, keegoan untuk mempertahankan sikap, dengan penuh fanatik terhadap apa yang ada dalam madzhab mereka. Seakan agama Islam disekat oleh madzhab yang ada.
Kalau kita mau sedikit mempelajari sumber hukum dan bagaimana para imam/kyai mereka berijtihad, pastilah lambat laun (kita) akan menjadi Muslim yang mengamalkan segala sesuatunya berdasarkan (pada) ilmu. Bila ternyata masing-masing mempunyai dasar hukum dalam amal, dan sama-sama kuat hujjah-nya (alasannya), (maka pada) hakikatnya tidak ada perbedaan itu. Bukankah semua ingin mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? (Bukankah) semua ingin mendapatkan ridha Allah? (dikutip dari artikel Ust. Mu’tashim, Lc.)

Pendapat Madzahib

Sebab Terjadinya Khilaf:

Dalam Surat Al-maidah ayat 6 Allah SWT. berfirman:
يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط (أو لامستم النساء (فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
Kata “allams” pada garis yang dikurung dan dibawahi mempunyai makna ganda dalam bahasa Arab.Ini mempengaruhi arti atau penafsiran kata “lams” dalam ayat tersebut. Orang Arab terkadang menggunakan kata “allams” untuk menyentuh menggunakan tangan dan kadang juga berarti jima’.
Adanya perbedaan penafsiran diantara para Salaf. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa “almass” juga digunakan untuk selain makna jima’.Sementara penafsiran dari habrul-ummah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menyelisihi pendapat keduanya, “al-mass” (elusan), “allamms” (sentuhan), dan “almubasyarah” (sentuhan antar kulit) masuk dalam makna jima’.
Para ulama berbeda pendapat, apakah wudhu seseorang batal bila bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram-nya (maharam artinya yang haram dinikahinya)? Para ulama dalam hal ini telah berbeda menjadi tiga pendapat:

Pendapat pertama: Madzhab Syafi’i……..

Berkata as-Syirazi, “Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu. Bila seseorang menyentuh kulit wanita atau wanita menyentuh kulit pria tanpa adanya sekat, maka wudhu keduanya batal.
Tentang hukum yang disentuh ada dua pendapat, salah satunya juga batal wudhunya. Persentuhan antara lelaki dan perempuan dapat membatalkan wudhu si penyentuh, berati juga membatalkan orang yang disentuh sebagaimana halnya ber-jima’ (berhubungan suami-istri)
Dalam beberapa kitab madzhab Syafi’iyah disebutkan beberapa rincian pendapat tersebut antara lain:
1. Berbeda antara orang yang memegang dan yang dipegang. Orang yang memegang batal wudhunya, sedangkan yang dipegang tidak wajib. Namun di tempat lain disebutkan tidak ada perbedaan antara keduanya, baik yang pegang atau dipegang harus berwudhu lagi.
2. Dibedakan antara istri dan kerabat. Kalau menyentuh istri wajib berwudhu, kerabat lain tidak harus wudhu. Sementara riwayat lainnya tidak dibedakan.
Dalil Madzhab Syafi’iyah :
as-Shan‘ani menjelaskan; “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh selain mahram membatalkan wudhu, ber-hujjah dengan firman Allah; ‘Au La Mastumun-Nisaa, sehingga diharuskan berwudhu bila bersentuhan. Mereka juga mengatakan, yang namanya ‘lams’ hakekatnya adalah menggunakan tangan, hal ini dikuatkan dengan makna yang terdapat dalam qiraah (Aulamastumun-Nisaa‘a)-dengan lam pendek padahal dalam ayat lamnya panjang, zhahirnya sentuhan kepada (kulit) wanita. Sehingga penetapan lafadznya sesuai dengan makna yang hakiki. Qiraah (Au laa mastumun-nisaa‘a) demikian juga, asalnya tidak ada perbedaan di antara dua qiraah tersebut.”
Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa “almass” (sentuhan) itu selain jima’.
Mereka juga ber-hujjah bahwa hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah dha’if, sementara riwayat yang shahih, yang menyebutkan tentang bersentuhannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ditakwilkan sebagai sentuhan dengan memakai pembatas/sekat.
Pendapat kedua: Madzhab Hanafi……..
Menyatakan bahwa wudhu menjadi batal karena sentuhan yang keji/fakhis. Berkata Ulama Hanafiyah; “Wudhu akan batal dengan sentuhan yang fakhis, maksudnya adalah dengan bertemunya dua farji/kemaluan dengan tanpa pembatas/sekat, dengan penuh syahwat, walaupun tidak didapatkan air (madzi) setelahnya.”
Berkata Abu Hanifah dan Abu Yusuf; “Terkecuali bila bertemunya dua farji/kemaluan sehingga menyebabkan ereksi, walaupun tidak mengeluarkan madzi.”

Dalil Madzhab Hanafiyah :

Madzhab Abu Hanifah, mengambil pendapat penafsiran ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa “lams” dalam ayat tersebut dipahami dengan jima’, bukan sekadar bersentuhan antar kulit, ciuman, baik dengan syahwat ataupun tidak, selama tidak mengeluarkan mani atau madzi.
Berkata Ibnu Assakit; “Bahwa kata al-Lams bila disandingkan dengan kata wanita maksudnya adalah jima’. Kalau orang Arab berkata; ‘Aku telah menyentuh wanita, (maka) maksudnya adalah menggaulinya…”

Pendapat ketiga: Madzhab Maliki dan Hambali…….

Yang menjadikan batal adalah sentuhan disertai dengan syahwat, kalau sekadar menyentuh (saja tanpa disertai syahwat maka) tidak membatalkan.
Berkata Malikiyah; “Wudhu seorang yang baligh menjadi batal bila menyentuh orang lain -baik laki/wanita- dengan syahwat, walaupun yang disentuh belum baligh. Begitu juga kalau menyentuh istrinya, orang asing, atau mahram-nya, begitu pula kalau menyentuh kuku atau rambut, dengan penghalang, seperti baju… Menyentuh dengan syahwat akan membatalkan wudhu, begitu pula berciuman dengan mulut (bibir), membatalkan wudhu dalam keadaan apapun. Biasanya ciuman disertai dengan syahwat…”

Dalam madzhab ini ada tiga riwayat:

1. Yang dijadikan ajaran madzhab, sentuhan tidak membatalkan wudhu kecuali dengan syahwat.
2. Tidak batal, baik dengan syahwat ataupun tidak, sebagaimana dipilih Ibnu Taimiyyah.
3. Wudhunya batal bila bersentuhan, baik dengan syahwat ataupun tidak. Dikatakan pendapat ini telah dianulir.

Dalil Madzhab Malikiyah dan Hanabilah :
Memadukan penafsiran ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan beberapa atsar yang menyebutkan bahwa menyentuh tidak membatalkan wudhu. Mereka mengambil jalan tengah. Sentuhan membatalkan bila disertai syahwat, sementara kalau tanpa syahwat tidak membatalkan.Sebagian atsar atau hadits yang dijadikan dalil:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:“Aku pernah tidur di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua kakiku berada di arah kiblat. Ketika, sedang sujud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuhku, maka akupun menarik dua kakiku. Kalau beliau sedang berdiri, maka aku membentangkan keduanya. Ia menambahkan; ‘Pada masa itu, rumah-rumah tidak ada lampunya."
Kaum Muslimin selalu menyentuh istri-istri mereka. Namun tidak ada kutipan riwayat dari mereka yang memerintahkan umat Islam untuk mengulang(i) wudhunya. Pula, tidak ada riwayat yang dinukil dari Sahabat saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau riwayat dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu karenanya. Justru disebutkan riwayat di as-Sunan bahwasanya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istri (beliau) dan (kemudian beliau) tidak berwudhu (lagi)."
Derajat hadits terakhir diperdebatkan, namun semua sepakat bahwa tidak ada nukilan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang batalwudhunya akibat bersentuhan antara kulit seorang lelaki dan wanita.

Fatawa Ulama :
Lajnah Daimah ketika ditanya mengenai ciuman kepada istri, apakah membatalkan wudhu atau tidak, menjawab; “Pendapat yang benar bahwa mencium tidaklah membatalkan wudhu, meskipun merasakan kenikmatan/syahwat dan juga tidak membatalkan puasanya.”
Syaikh bin Baz tentangnya menjelaskan; ”…yang benar dalam masalah ini –sesuai dalil yang ada- bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu. Baik dengan syahwat ataupun tidak, asal tidak keluar sesuatu (mani/madzi, penj). Rasul mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat tanpa mengulang wudhu. Secara asal, batal tidaknya thaharah, yang terlepas dari wudhu berikutnya tidak menjadi wajib kecuali dengan dalil yang selamat dari pertentangan. Para wanita banyak dijumpai di setiap rumah, yang banyak tersentuh oleh lelaki, baik istri atau saudari yang masih mahram. Seandainya sentuhan tersebut dapat membatalkan wudhu niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan dengan jelas…”
Berkata Syaikh ‘Utsaimin; “Maka yang benar, bahwa menyentuh wanita bagaimanapun juga tidaklah membatalkan wudhu. Terkecuali bila keluar sesuatu, sehingga menjadi batal dengan sesuatu yang keluar (dari kemaluannya) tersebut.”
Syaikh Shalih Fauzan mengatakan; “…yang lebih berhati-hati dalam masalah ini, adalah pendapat yang ketiga (yakni, bila menyentuh dengan syahwat, wudhunya batal, bila tanpa syahwat maka tidak menjadi batal). Karena dengan syahwat dimungkinkan/biasanya akan keluar sesuatu (dari kemaluannya), dan bila tanpa syahwat maka tidaklah membatalkan wudhunya, karena biasanya tidaklah keluar sesuatu.”